JPPI Catat Lonjakan Kasus Kekerasan di Lembaga Pendidikan Meningkat 100 Persen

IVOOX.id – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melaporkan peningkatan signifikan jumlah kasus kekerasan di lembaga pendidikan pada tahun 2024. Berdasarkan data yang dihimpun, terdapat 573 kasus kekerasan yang terjadi di sekolah, madrasah, dan pesantren sepanjang tahun ini. Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan dengan 285 kasus yang tercatat pada tahun 2023, menunjukkan peningkatan lebih dari 100 persen.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, mengungkapkan bahwa data ini dikumpulkan dari pemberitaan di media massa serta laporan yang masuk melalui kanal pengaduan di media sosial dan situs web JPPI.
Ubaid menjelaskan, keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 43 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan turut meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan. Namun, di sisi lain, tingginya angka kasus menunjukkan masih adanya persoalan mendasar dalam pengawasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan pendidikan.
"Dengan rata-rata lebih dari satu kasus setiap hari, data ini menggambarkan urgensi untuk memperbaiki sistem pengawasan di sekolah, madrasah, dan pesantren," ujar Ubaid dalam peluncuran laporan di Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Berdasarkan data JPPI, mayoritas kekerasan terjadi di sekolah umum, yakni sekitar 64 persen dari total kasus. Sementara itu, lembaga pendidikan berbasis agama juga menyumbang angka yang signifikan, dengan 20 persen kasus terjadi di pesantren dan 16 persen di madrasah.
Ubaid juga menyoroti bahwa sebagian besar kekerasan terjadi di dalam lingkungan sekolah (58 persen), diikuti oleh lokasi luar sekolah (27 persen), dan di dalam asrama atau pesantren (15 persen). Fakta bahwa kekerasan juga terjadi di lingkungan dengan pengawasan 24 jam, seperti pesantren dan asrama sekolah, menjadi perhatian khusus.
Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan (PSKP), Irsyad Zamjani, menyatakan bahwa data JPPI ini akan menjadi bahan evaluasi bagi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). Ia menyebutkan pentingnya akselerasi program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan langkah pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
"Kami akan mendiskusikan data ini untuk menentukan langkah strategis dalam menangani kekerasan di sekolah," kata Irsyad.
JPPI berharap laporan ini dapat mendorong semua pihak untuk lebih serius dalam menangani kekerasan di lingkungan pendidikan, sekaligus menciptakan suasana belajar yang aman dan inklusif bagi para pelajar di Indonesia.
Serukan Sistem Pendidikan Inklusif untuk Cegah Kekerasan di Sekolah
JPPI mengajak pemerintah dan pihak terkait untuk membangun sistem pendidikan yang lebih inklusif sebagai langkah strategis mencegah kekerasan di sekolah.
"Dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk menyelesaikan masalah ini," kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji, Jumat (26/12/2024).
Ia menyebutkan bahwa sinergi antara pemerintah, madrasah, pesantren, Kementerian Agama, dan Kementerian Pendidikan harus menjadi bagian dari agenda nasional untuk mengatasi permasalahan ini secara komprehensif.
Ubaid menyoroti perlunya pemahaman yang mendalam tentang berbagai bentuk kekerasan, termasuk perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga kebijakan diskriminatif. Menurutnya, seluruh pemangku kepentingan mulai dari satgas, kepala sekolah, hingga orang tua harus memiliki pandangan yang sama tentang langkah-langkah pencegahan dan penanganan kekerasan.
"Melibatkan orang tua, masyarakat, komite sekolah, dan organisasi siswa sangat penting untuk menciptakan pengelolaan pendidikan yang lebih terbuka dan inklusif," ujarnya. Ubaid juga mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikelola secara partisipatif agar tidak hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab penuh, tetapi juga masyarakat luas.
Dalam penjelasannya, Ubaid menegaskan bahwa sekolah negeri adalah aset publik. Oleh karena itu, segala kebijakan pendidikan harus melibatkan berbagai pihak, termasuk komite sekolah, orang tua, dan masyarakat. "Ini bukan hanya tugas dinas pendidikan atau kepala sekolah, melainkan tanggung jawab bersama," katanya.
Dengan pendekatan partisipatif, JPPI berharap sistem pendidikan di Indonesia dapat memberikan ruang lebih besar bagi keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Hal ini, menurut Ubaid, merupakan langkah penting untuk memastikan keselamatan dan kenyamanan siswa di lingkungan sekolah.
JPPI terus mendorong langkah konkret dari pemerintah dan pemangku kepentingan lain untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan aman bagi seluruh anak Indonesia.

0 comments