Ketua DPD La Nyalla dan Oesman Sapta Odang Bahas Wacana Amandemen UUD 1945

IVOOX.id, Jakarta - Ketua DPD RI La Nyalla Mahmud Mattalitti bertemu dengan Mantan Ketua DPD RI Oesman Sapta Odang untuk membahas wacana amandemen UUD 1945 pada Jumat, 14 Mei 2021.
Dalam pertemuannya, La Nyalla mengatakan bahwa DPD RI telah membentuk Tim Kerja Pokok-pokok Haluan Negara (Timja-PPHN) yang diketuai oleh Jimly Asshdiqqie dan bertugas untuk menyiapkan amandemen UUD 1945 untuk yang kelima kalinya.
"Tim ini bertugas menyiapkan materi seputar persiapan Amandemen ke-5 UUD 1945," kata La Nyalla pada Sabtu,15 Mei 2021.
Oesman Sapta Odang menyatakan bahwa dalam amandemen UUD 1495 yang terbaru juga perlu adanya hak bagi DPD RI untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden (wapres) pada saat Pemilu berlangsung.
Menurutnya, selama ini calon presiden dan wapres hanya dapat diajukan melalui partai politik.
"Sudah seharusnya bagi DPD RI juga menjadi salah satu saluran untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berasal dari luar kader partai politik," ujar dia.
Oesman Sapta Odang menambahkan, setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih maupun dipilih dalam Pemilu.
Pria yang akrab disapa OSO itu juga mengatakan bahwa pada masa lalu, presiden dan wapres hanya dapat dipilih MPR dengan mempertimbangkan representasi partai politik dan utusan golongan serta utusan daerah.
"Lalu dalam amandemen UUD 1945, presiden dipilih rakyat tapi yang mengajukan hanya partai politik. Lalu anggota MPR yang di luar partai politik untuk apa ada di Senayan padahal saat ini penerimaan dari utusan daerah itu adalah DPD RI," katanya.
Bagi Oesman Sapta Odang, sudah saatnya DPD RI untuk memiliki hak mengusung calon presiden dan wapres di luar kader partai politik.
"Jadi DPD RI bisa membuat konvensi untuk menjaring kader-kader terbaik bangsa yang bukan kader partai," ujarnya.
Belum selesai di situ, Oesman Sapta Odang juga menyinggung ketentuan mengenai presidential treshold sebagai salah satu persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pemilu sebesar 20 persen.
Hal tersebut menjadi sangat merugikan partai politik yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, karena mau tidak mau harus berkoalisi dengan partai lainnya.
Dia mencontohkan, Pilpres pada Pemilu 2019 yang digelar secara bersamaan dengan Pileg hanya diikuti oleh dua pasangan sehingga menimbulkan polarisasi yang sangat tajam di kalangan masyarakat.
"Akibatnya seperti (Pemilu 2019) kemarin, calon cuma dua pasangan. Dampaknya, masyarakat terbelah dengan sangat tajam, yang rugi bangsa ini," tuturnya mengakhiri pernyataan.

0 comments