Revisi UU Paten dan Potensi Monopoli Industri Farmasi | IVoox Indonesia

June 2, 2025

Revisi UU Paten dan Potensi Monopoli Industri Farmasi

190525-Revisi UU Paten1
ILUSTRASI - Pemerintah baru- baru ini mengumumkan akan membangun pabrik obat lokal dengan memanfaatkan laboratorium farmasi TNI sebagai solusi atas mahalnya harga obat produksi dalam negeri. IVOOX.ID/AI

IVOOX.id - Obat memberikan manfaat terapeutik ketika takarannya sesuai kebutuhan, sedangkan efek toksisitasnya timbul saat penggunaannya melebihi dosis dan anjuran.

Begitu pula dengan produk hukum, termasuk UU Paten, yang perumusan dan penerapannya sebaiknya mampu menjadi penyeimbang antara kepentingan umum (kemaslahatan umat) dengan kepentingan pribadi (hak eksklusif).

Pemerintah di sini memegang peran penting sebagai wakil suara rakyat dan penyeimbang melalui produk hukum yang adil dan berimbang sesuai morality of law. Terbitnya UU Nomor 65 Tahun 2024 tentang Paten menjadi angin segar bagi inventor dalam aspek kemudahan birokrasi, inovasi obat tradisional sesuai WIPO Treaty on GRATK, Traktat Internasional tentang Sumber Daya Genetik dan Pengetahuan Tradisional.

Namun ada satu kejanggalan yang mungkin luput dari perhatian khalayak, yaitu masalah perpanjangan grace period. UU ini menghapus Pasal 4 huruf f dalam undang-undang sebelumnya. Pasal 4 huruf f pada UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten sejatinya telah sesuai koridor dalam menetapkan pengecualian atas ‘penggunaan baru dari produk yang sudah ada dan/atau yang sudah dikenal’ dan ‘bentuk baru dari senyawa yang sudah ada yang tidak menghasilkan peningkatan khasiat secara signifikan dan mengandung struktur kimia yang berbeda’.

Kemudahan pendaftaran paten yang diniatkan untuk pertumbuhan inovasi tersebut, dengan dihapuskannya bagian ini, justru akan membuka kesempatan luas bagi praktik perpanjangan paten terselubung (patent evergreening).

Patent evergreening oleh perusahaan farmasi berpotensi memperpanjang monopoli perusahaan atas hak eksklusif obat paten demi mensiasati tidak dapat diperpanjangnya jangka waktu 20 tahun atas hak paten, dengan mengabaikan unsur ‘langkah inventif’.

‘Langkah inventif’ bermakna invensi harus merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya karena mengandung ide atau solusi ‘baru’, ‘bukan hanya modifikasi sederhana’ atau ‘kombinasi paten yang sudah ada’. Adapun Pasal 22 ayat (2) UU Nomor 13 Tahun 2016 tentang jangka waktu paten selama 20 tahun dan mutlak tidak boleh diperpanjang tidak mungkin diubah karena akan bertentangan dengan standar term of protection di TRIPs Agreement Section 5 Article 33.

Logika kritis yang seharusnya diutamakan disini adalah mana yang lebih urgen antara mengejar target peningkatan jumlah invensi paten di Indonesia atau menetapkan standar patentabilitas yang tinggi sehingga sejak awal menjaring paten yang jelas berkualitas dan bermanfaat bagi publik? Kualitas seharusnya lebih diutamakan daripada kuantitas dalam indikator keberhasilan kinerja Pemerintah terkait perlindungan paten.

Manfaat ekonomi dalam hak eksklusif inventor obat paten tidak boleh melemahkan hak seluruh warga negara Indonesia atas akses obat. Dalam beberapa kondisi mendesak, demi kepentingan masyarakat, Pemerintah tetap dapat mengesampingkan hak eksklusif melalui government use, dan saat diterapkannya TRIPS waiver atau pengabaian sementara terhadap beberapa ketentuan dalam Perjanjian TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights).

Namun selama situasi negara berjalan normal maka tidak ada pihak yang boleh menghalangi keistimewaan hak eksklusif inventor. Penerapan hak eksklusif paten yang tidak berimbang beresiko menimbulkan monopoli dan menghalangi akses masyarakat terhadap obat.,

Keterlibatan TNI

Setengah tahun kemudian setelah diterbitkannya UU Paten terbaru tersebut, Pemerintah baru- baru ini mengumumkan akan membangun pabrik obat lokal dengan memanfaatkan laboratorium farmasi TNI sebagai solusi atas mahalnya harga obat produksi dalam negeri. Kerja sama produksi obat generik antara Kementerian Pertahanan dengan Kementerian Kesehatan tersebut akan disalurkan melalui jaringan apotek yang dikelola Koperasi Desa Merah Putih.

Sayangnya, upaya baik Pemerintah ini belum disambut hangat oleh masyarakat karena adanya beberapa kejanggalan logika. Perluasan wewenang TNI ke ranah industri obat dirasa tidak sesuai dengan tugas pokoknya. UU Nomor 3 Tahun 2025 menyebutkan dua tugas pokok TNI yakni ‘Operasi Militer untuk Perang’ dan ‘Operasi Militer selain Perang’ dalam 16 tugas perbantuan yang tidak menyebutkan bidang kesehatan apalagi produksi obat.

Bisnis obat lokal di Indonesia sebenarnya sudah berkembang walaupun terkendala mahalnya bahan baku impor. Maka Pemerintah hendaknya membantu berkembangnya industri farmasi yang sudah ada, bukan mengganti peran pelaku industrinya.

Indonesia sudah memiliki holding BUMN farmasi yang memproduksi obat generik. Pelibatan peran universitas dan lembaga riset melalui dana penelitian, uji coba dan uji produksi yang diadaptasikan ke industri farmasi juga menjadi opsi yang tepat agar kita tetap menyerahkan urusan kepada ahlinya.

Penempatan TNI di sektor-sektor non-pertahanan sesungguhnya bertujuan mulia untuk mempercepat pembangunan di wilayah yang membutuhkan peran TNI sehingga program pemerintah bisa terlaksana.

Peran penting TNI yang tepat bisa diwujudkan dalam bentuk membantu distribusi obat saat terjadi perang dan bencana serta membantu pemerintah dalam pengembangan wilayah pelosok 3T melalui program teritorial dan kemanusiaan, bukan untuk masuk ke ranah produksi obat, meskipun bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan sekalipun.

Lagipula, jika memang Pemerintah mengkhawatirkan tidak meratanya akses obat akibat mahalnya harga obat, lantas mengapa tahun lalu Pemerintah meloloskan terbitnya UU Paten baru yang salah satu aspeknya memudahkan patent evergreening melalui pendaftaran obat paten yang belum tentu ada peningkatan manfaat klinis secara signifikan dan tidak memenuhi syarat invensi TRIPS?

Masih dengan alasan harga obat mahal, Pemerintah mengerjakan proyek pabrik farmasi baru di luar holding BUMN Farmasi dengan melibatkan Kementerian Pertahanan, sembari secara hampir bersamaan memberi kemudahan yang kurang tepat kepada dominasi perusahaan farmasi melalui penghapusan Pasal 4 huruf f dalam UU Paten terbaru.

Pemerintah hendaknya dapat lebih berfokus untuk mengoptimalisasi holding BUMN farmasi, meningkatkan standar patentabilitas sejak tahap awal pendaftaran invensi, serta mempertimbangkan untuk lebih banyak memasukkan obat paten yang efektif, aman dan tidak ada alternatif obat generik yang setara ke dalam Formularium Nasional agar dapat ditanggung oleh BPJS, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Pemerintah Taiwan melalui National Health Insurance.

Wajar jika timbul kesalahpahaman dan keraguan masyarakat mengenai apakah kedua langkah strategis Pemerintah tersebut hadir sebagai madu yang dapat menyembuhkan atau justru perlahan-lahan meracuni hak asasi warga negara Indonesia dalam memperoleh akses kesehatan yang adil dan seluas-luasnya.

Selayaknya, pengaturan pengecualian invensi sekunder (khususnya konteks obat paten) dikembalikan ke pengaturan awal, serta diperjelas tupoksi kewenangan pengelolaan dan produksi obat generik dalam mendorong pemerataan akses obat murah sesuai akar pengaturan hak asasi manusia atas kesehatan di Indonesia.

Kesehatan adalah hak asasi manusia yang fundamental sesuai Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, sehingga hak atas kesehatan seharusnya lebih didahulukan, meskipun bukan berarti lebih penting daripada hak asasi manusia lainnya, karena kesehatan berhubungan langsung dengan nyawa manusia.

 

Penulis: Cita Yustisia Serfiyani

Pakar hukum bisnis, penulis buku HAKI & Warisan Budaya, Dosen Fakultas Hukum Universitas Negeri Surabaya.

Sumber: Antara

0 comments

    Leave a Reply