Suara Perempuan Pesisir: Satu Laut, Satu Perlawanan

IVOOX.id - Asmania tak pernah lelah menjaga Pulau Pari. Sejak 2014, Teh Aas, demikian ia biasa disapa, telah mengabdikan hidupnya untuk menolak reklamasi yang mengancam pulaunya.
Lebih dari sepuluh tahun ia menempuh perjuangan ini, bukan demi dirinya semata, melainkan untuk masa depan generasi yang akan datang.
“Kami akan terus berjuang. Yang kami perjuangkan bukan hanya untuk kami, tapi untuk generasi yang akan datang. Kami lebih paham bagaimana menjaga pulau kami, yang pasti bukan dengan reklamasi,” tegas Asmania.
Sebagai perempuan pesisir, ibu dari tiga anak ini menyaksikan langsung perubahan drastis yang terjadi di Pulau Pari. Sejak reklamasi dimulai, kondisi lingkungan tak lagi sama. Terumbu karang rusak, hutan mangrove tergerus, dan budidaya rumput laut yang selama ini menjadi andalan masyarakat menurun tajam.
Banyak warga yang akhirnya beralih ke sektor pariwisata dan mengelolanya secara swadaya. Ironisnya, upaya ini tak mendapat dukungan dari negara. “Pemerintah tidak hadir, sehingga konflik tidak pernah terselesaikan,” ungkap Asmania.
Sebaliknya, negara justru memihak korporasi. “Bukannya diapresiasi oleh pemerintah, justru Pulau Pari diklaim oleh korporasi. Sementara masyarakatnya dikriminalisasi,” katanya.
Asmania tidak sendirian. Di ujung lain Indonesia, suara serupa lantang diteriakkan oleh Restin Bangsuil. Ketua Pergerakan Perempuan Tolak Reklamasi Manado ini menjadi garda depan perjuangan perempuan pesisir Sulawesi Utara. Bagi Restin, laut bukan hanya ruang hidup, tapi juga warisan yang harus dijaga.
Selama ini Manado dikenal dunia lewat keindahan lautnya, dengan Bunaken sebagai ikon. Namun reklamasi mengancam semua itu. “Masyarakat terus mempromosikan keindahan Bunaken. Namun, justru pemerintah ingin merusaknya,” ujar Restin.
Bagi Restin, laut telah menjadi sumber kehidupan warga. Dari hasil laut, keluarga bisa hidup layak, anak-anak mereka bisa sekolah hingga menjadi guru atau pegawai negeri.
Restin menegaskan, yang paling tepat menjaga alam adalah perempuan. “Perempuan adalah wujud yang memiliki kesabaran dalam perjuangan,” katanya.
Meski kerap menghadapi perundungan dan intimidasi, Restin dan kawan-kawannya tetap memilih bertahan. Perjuangan ini tak sekadar aksi protes, tapi bentuk perlawanan terhadap perampasan ruang hidup yang terus berlangsung.
“Perjuangan tidak akan berhenti” seru Restin. "Kita wajib menjaga hal-hal yang dititipkan ibu pertiwi kepada kita. Jangan biarkan ruang hidup kita dirampas. Kita pasti bisa, karena kita memperjuangkan ciptaan Tuhan. Tuhan pasti bersama kita!"
Jejaring Perempuan Pesisir
Asmania dan Restin berbicara dalam Diskusi Serial: Jejaring Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Nusantara dengan tema “Tata Kelola Laut Era Prabowo dan Suara Perempuan Tolak Reklamasi”, yang berlangsung secara virtual pada Rabu, 30 April 2025, diakses dari laman Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan, Jumat, 16 Mei 2025.
Diskusi ini bagian dari inisiatif kolektif yang dibentuk pada 29 Desember 2023 di Makassar. Jejaring ini terdiri dari kelompok-kelompok perempuan dari berbagai daerah yang menghadapi ancaman serupa: reklamasi, perusakan lingkungan, dan kebijakan negara yang tak berpihak.
Slamet Riadi, Kepala Departemen Riset dan Keterbukaan Publik Walhi Sulawesi Selatan, menjelaskan jejaring perempuan pesisir lahir sebagai respons atas maraknya kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, khususnya perempuan.
Ia mencontohkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi laut yang kembali membuka keran ekspor pasir laut. “Padahal aturan tersebut sudah ditinggalkan sejak beberapa tahun yang lalu," ungkap Slamet.
Dia menyayangkan bahwa kebijakan tersebut dihidupkan kembali oleh rezim sekarang. Dalam ruang-ruang yang terdesak oleh proyek pembangunan, suara perempuan seperti Asmania dan Restin menjadi sangat penting. Mereka bukan hanya bertahan, tapi juga memimpin.
Di tengah absennya negara, para perempuan pesisir membuktikan bahwa menjaga laut dan tanah bukanlah tugas negara semata, melainkan panggilan nurani dari mereka yang hidup di dalamnya.
Penulis: Diana
Kontributor

0 comments